ASY'ARIYAH DAN MU'TAZILAH
BAB
I
PENDAHULUAN
Agama
Islam merupakan agama yang sangat luas. Agama yang menjadi penyempurna agama
sebelumnya. Sehingga untuk mengkaji dan memahami Islam sangat bervariasi
metodenya. Hal ini kemudian melahirkan pemikiran Islam yang bermacam-macam
spesialisasinya. Hasil pemikiran yang berbeda tersebut kemudian akan melahirkan
berbagai macam aliran atau kepercayaan. Contoh aliran tersebut antara lain
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Syi’ah, Khawarij, Salafy, Wahabi, dan
masih banyak aliran-aliran kecil yang berkembang sampai sekarang.
Aliran
Mu’tazilah sendiri memiliki metodologi pemikiran yang khas. Mereka meletakkan
eksistensi akal sebagai pondasi untuk menjelaskan teologi. Selain itu,
pemikiran yang mencolok dari mereka adalah meletakkan bahasa dan logika sebagai
kriteria dalam menginterpretasikan teks-teks al-Qur’an.[1]
Golongan Mu’tazilah merupakan ahli fikir Islam pertama yang telah berusaha
membentuk suatu sistem filsafat yang lengkap, meliputi ketuhanan, physica, ilmu
jiwa, etika, dan politik.[2]
Aliran lain yang menjadi sorotan
adalah aliran Asy’ariyah, aliran ini muncul karena ketidakpuasan Abdul-Hasan
Ali bin Ismail Al-Asy’ary terhadap pemikiran
Mu’tazilah yang dirasakan sudah terlalu memuja akal-pikiran. Aliran
Asy’ariyah ini meletakkan akal dan tekstual sebagai pondasi untuk menjelaskan
konsep teologi dan ilmu kalam.[3]
Penganut paham dari Asy’ary ini kemudian disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Aliran ini mempercayai adanya konsep
Islam sebagai cabang ilmu fiqih, Iman sebagai cabang ilmu tauhid, dan Ihsan
sebagai ilmu tasawwuf.[4]
Dengan demikian, dalam makalah ini
akan membahas mengenai sejarah Mu’tazilah dan Asy’ariyah, menyingkap pemikiran
Mu’tazilah dan Asy’ariyah, serta ajaran-ajaran dari kedua aliran tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
- Mu’tazilah
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis. Dalam penyebarannya, mereka banyak
memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[5]
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal
dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkankan diri. Pemberian nama Mu’tazilah dihubungkan
pada peristiwa yang terjadi ketika tokoh utama aliran yakni Wasil bin Atha’
mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, Hasan Al – Bashri.[6]
Saat Hasan Al – Bashri masih berfikir,
Wasil berdiri dan mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan: “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduannya”. Kemudian Wasil
menjauhkan diri dari Hasan al – Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan
masjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya.
Dengan adanya peristiwa ini Hasan al – Bashri berkata, Wasil menjauhkan diri
dari kita ( i’tazala anna ). Kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[7]
Golongan Mu’tazilah dikenal sebagai
kelompok rasionalis, sebab mereka memberikan peran dan fungsi yang sangat besar
kepada akal dalam kehidupan manusia. Mu’tazilah juga dikenal dengan beberapa
nama, antara lain ahl al – ‘adl, yang berarti golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan. Orang – orang di luar Mu’tazilah sering
menyebutnya dengan istilah kelompok free will atau free act,
yakni kelompok yang memandang bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas
berbuat. Selain itu, ada yang menamainya dengan Al – Mu’attilah, karena
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat – sifat, dalam arti
sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan.[8]
Dalam penyebarannya, firqoh Mu’tazilah mempunyai dua
pusat pergerakan:[9]
- Di Basrah, pada permulaan abad II H dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid, diperkuat oleh murid – muridnya Utsman at – Thawil, Hafash bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khalik bin Shofwan dan Ibrahim bin Yahya al – Madani.
Pada
permulaan abad III H, Mu’tazilah yang bersifat di Basrah dipimpin oleh Abu
Hudzail al – Allaf, Abu Ali al – Juba’i dan yang lainnya.
- Di Baghdad, dipimpin oleh Basyar bin al – Mu’tamar, dibantu oleh Abu Musa al Murdan, Ahmad bin Abi Dawud, Ja’far bin Mubasysyar dan Ja’far bin Harib al – Hamdani.
Ajaran
– ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa bani Umayyah
yaitu khalifah Yazid bin Walid. Sedangkan dari penguasa bani Abbasiyah ajaran
tersebut mendapat dukungan dari beberapa khalifah yaitu, khalifah Makmun bin
Harun al – Rasyid, al – Mu’tashim bin Harun al – Rasyid, dan al – Watsiq bin al
– Mu’tashim. Dari dukungan dan simpati ke empat khalifah tersebut faham – faham
Mu’tazilah menjadi tersebar luas.
Dalam
pemikirannya Mu’tazilah ini ternyata banyak terpengaruh oleh unsur – unsur
luar. Antara lain dari kalangan orang – orang Yahudi, sehingga mereka
berpendapat bahwa al – Qur’an itu Hadist atau khalqul Qur’an. Pengaruh
yang sama dari orang – orang Kristen, seperti Saint John Of Damascus (
676 – 749 M ) yang lebih dikenal dengan sebutan ibnu Sarjun, Tsabit
bin Qurrah ( 836 – 901 M ) dan Kusio bin Lucas ( 820 – 901 ).[10]
Ajaran
– ajaran agama yang menurut mereka bertentangan dengan akal fikiran, mereka
buang jauh – jauh dari pemikirannya, meskipun ada petunjuk dari nash. Salah
satunya adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi dengan roh dan jasad,
kebangkitan manusia dari kubur dianggapnya bertentangan dengan akal fikiran.
Pemikiran
keagamaan Mu’tazilah yang demikian itu, ditolak oleh faham Sunni. Penafsiran al
– Qur’an tidak boleh sama sekali menonjolkan akal fikiran. Sebagaimana Hadits
Nabi :[11]
مَنْ فَسَّرَ الْقُرْأَنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه الترمذي والنسائ)
Artinya: Barang
siapa menafsirkan al – Qur’an dengan pendapat akal fikiran saja, maka hendaklah
menyiapkan dirinya dalam neraka. ( HR. Turmudzi dan Nasa’i ).
Meskipun terdapat pertentangan, kaum
Mu’tazilah tetap berpegang teguh pada pemikirannya. Dalam pemikirannya mereka
merumuskan prinsip – prinsip ajaran yang mereka sepakati. Al – Khayyath, tokoh
Mu’tazilah pada abad III H menegaskan:[12]
وَلَيْسَ
يَسْتَحِقُّ اَحَدٌمِنْهُمْ اِسْمَ اْلِاعْتِزَالِ حَتَّى يَجْمَعَى الْقَوْلُ بِاْلُاصُوْلِ
اْلخَمْسَةِ:التَّوْحِيْدُوَالْعَدْلُ وَالْوَعْدُوَالْوَعِيْدُوَالْمَنْزِلَةُبَيْنَ
الْمَنْزِلَتَيْنِ وَالْاَمْرُبِاْلمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ.فَاِذَاكَمَلَتْ
فِيْهِ هَذِهِ الْخَصْلَةُ فَهُوَمُعْتَزِلِىٌّ
Artinya: Seseorang
tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran.
Yaitu: tauhid, adil, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar
ma’ruf nahi mungkar. Apabila padanya telah sempurna ke lima ajaran ini,
dinamakan Mu’tazilah.
Penjelasan ke lima prinsip ajaran
Mu’tazilah tersebut sebagai berikut:
1. Tauhid
Mu’tazilah
menamakan dirinya sebagai Ahlul ‘Adli Wat Tauhid (Pengemban keadilan dan
ketauhidan). Menurutnya , tuhan itu esa, tidak ada yang menyamainya, bukan
jisim, bukan jauhar, bukan aradh, tidak berlaku padanya masa, tidak mungkin
mengambil ruang atau tempat tidak bisa
disifati dengan sifat-sifatnya makhluk yang menunjukkan ketidak azalian Nya.
Mereka berpendapat bahwa Allah Swt
adalah ‘Alim (Mengetahui ) dengan
dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyyun (Hidup) dengan dzat-Nya,
Mutakallim ( Berbicara )
dengan dzat-Nya. Mereka juga berpendapat
bahwa Al-Quran adalah makhluk, karena tidak ada yang Qadim kecuali Allah[13].
2. Keadilan
Keadilan berarti meletakkan tanggung
jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah menggunakan
istilah keadilan tersebut , bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya sendiri, yang baik atau jelek. Dan karena itulah ia berhak
mendapat pahala dan siksa. Dan Allah swt sama sekali bersih dari hal-hal jelek. Dari prinsip tersebut ,
maka Mu’tazilah disebut “ Al-‘Adhiyah ” yaitu orang-orang yang
menganut pendapat tentang keadilan[14].
3. Janji dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam
akan memberi siksaan,
pasti dilaksanakan, karena tuhan sudah menjanjikan demikian.
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa seorang
mukmin yang meninggal
dalam kedaan taat dan tobat, dia berhak untuk mendapatkan pahala. Juga berhak mendapatkan
tafaddhul (karunia Tuhan), yaitu suatau pengertian lain dari pahala.
4. Tempat diantara dua tempat
Washil bin Atha mengatakan orang yang
berdosa besar selain musyrik itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq.
Fasiq terletak diantara iman dan kafir.
5. Amar Makruf Nahi Munkar
Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap
orang Islam untuk menyiarkan
agama. Sejarah menunjukkan betapa gigihnya orang-orang Mu’tazilah dalam
memberantas kesesatan yang tersebar luas
dalam Khilafah Bani Abbasiyah untuk mempertahankan kebenaran Islam[15].
Bahkan mereka tidak segan-segan untuk
menggunakan prinsip tersebut, meskipun
sesama dengan golongan Islam.
Adapun ciri – ciri Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan
umum. Mereka yakin akan kekuatan akal fikiran, karena itulah mereka suka
berdebat dengan siapa saja orang yang berbeda pendapat dengannya. Masalah –
masalah yang diperdebatkan antara lain:[16]
1. Sifat – sifat Allah itu ada atau tidak.
2. Baik dan buruk itu di tetapkan berdasarkan syara’ atau
akal fikiran.
3. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak.
4. Al – Qur’an itu makhluk atau bukan.
5. Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan
oleh Allah.
6. Allah itu bisa dilihat di akhirat nanti atau tidak.
7. Alam itu qadim atau hadits.
8. Allah wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih
baik (ashlah).
Meskipun kaum Mu’tazilah sering melakukan perdebatan dengan menggunakan
rasio mereka dan mengesampingkan nash, mereka tetap mendapatkan banyak pengikut
sekitar dua abad lamanya. Itu semua terjadi karena ajaran – ajaran Mu’tazilah
ini diikuti atau didukung oleh penguasa waktu itu. Bahkan beberapa kali ajaran
ini menjadi paham nasional yang harus diikuti masyarakat. Sehingga paham ini
menjadi salah satu paham yang berpengaruh dimasanya sebelum mengalami kemunduran,
yaitu dengan munculnya aliran Ahlus Sunnah wal – Jama’ah ( Asy’ariyah dan
Maturidiyah ).
B.
Asy’ariyah
Asy’ariyah
adalah salah satu aliran dalam teologi Islam periode klasik yang namanya
dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Hasan Ali bin Isma’il al – Asy’ari,
masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al – Asy’ari seorang tahkim dalam
peristiwa perang Shiffin dari pihak Ali bin Abi Thalib. Dia lahir di kota
Basrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M).[17]
Dalam
belajar agama, al – Asy’ari mula – mula berguru kepada Abu Ali al – Jubba’i
seorang pemuka Mu’tazilah. Karenanya, al – Asya’ari pada mulanya adalah
pengikut Mu’tazilah dan sangat memahami aliran tersebut. Akan tetapi, pada usia
40 tahun ia menyatakan diri keluar dari Mu’tazilah, karena ia mengalami
berbagai keraguan dan tidak puas terhadap doktrin – doktrin Mu’tazilah. Al –
Subki dan Ibn ‘Asakir menyatakan bahwa pada suatu malam al – Asy’ari bermimpi,
dimana dalam mimpi tersebut Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab
ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Selain itu, sebab lain
yang menjadikan Asy’ari berpindah aliran adalah ketika ia dengan gurunya al –
Jubba’i terlibat dalam perdebatan dan gurunya tersebut tidak dapat menjawab
tantangan muridnya.
Tetapi bagaimanapun al
– Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini berada dalam fase
kemunduran dan kelemahan. Adapun sebab terpenting al – Asy’ari meninggalkan
Mu’tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan
mereka sendiri, jika tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang sangat
mendambakan atas kepersatuan ummat, dia sangat khawatir kalau al – Qur’an dan
Hadits menjadi kurban dari faham – faham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin
jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat.
Disamping
itu ada ahli – ahli hadits antropomorfis yang terlalu memegangi makna lahir
dari hadits – hadits yang menyeret Islam pada kelemahan dan kejumudan
yang tidak dibenarkan. Dalam suasana demikianlah al – Asy’ari keluar dari
golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang
yang berpegang kuat pada Hadis.
Sejak
itu, al – Asy’ari gigih menyebarkan paham barunya sehingga terbentuk mazhab
dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal Jama’ah. Pengikut
al – Asya’ari sering disebut Asy’ariyah. Ajaran – ajaran al – Asy’ari sendiri
dapat diketahui dari buku – buku yang ditulisnya, terutama dari Kitab al – Luma’ Fi al – Rad ‘ala ahl al
– ziagh wa al – Bida’ dan al – Ibanah ‘an Usul al – Dianah.[18]
Jika
dilihat dari corak pemikirannya, al – Asy’ari memiliki dua corak pemikiran yang
tampak berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Al – Asy’ari berusaha
mendekati ulama – ulama fiqih dari golongan Sunni, karena ia berkeyakinan bahwa
semua orang yang berijtihad adalah benar dan adanya kesatuan mazhab – mazhab
fiqih soal – soal furu’. Sebagai orang yang pernah mengikuti faham Mu’tazilah,
al – Asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal fikiran dan penggunaan
argumentasi – argumentasinya. Dia juga menentang pendapat mereka yang
mengatakan bahwa akal fikiran dalam membahas masalah – masalah agama, tidak
pernah disinggung oleh Rasulullah. Padahal sahabat sepeninggal Rasulullah
banyak membahas masalah – masalah baru dan nyatanya sahabat – sahabat itu tidak
dinyatakan sebagai ahli bid’ah.
Akan
tetapi al – Asy’ari menentang keras orang yang berlebihan dalam penggunaan akal
fikiran yaitu golongan Mu’tazilah, sehingga mereka tidak mengakui hadits –
hadits Nabi sebagai dasar agama. Dengan demikian jelaslah kedudukan al –
Asy’ari sebagai seorang muslim yang benar – benar ikhlas membela kepercayaan,
berpegang teguh kepada al – Quran dan Hadits sebagai dasar agama, di samping
menggunakan akal fikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat dan
memperjelas pemahaman nash – nash agama. Dalam penyebarannya ajaran Asy’ariyah
ini memiliki beberapa doktrin yaitu :[19]
1. Syarat agar orang beriman berada dijalan yang benar
adalah mereka harus teguh dalam beriman kepada Allah SWT, malaikat Allah, Kitab
Allah, Rasul Allah, berpegah teguh pada Al - Qur’an dan Assunah. Orang-orang
harus sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, mereka harus mengimani semuanya secara utuh.
2. Allah
SWT adalah maha Esa
dan Qodim (terdahulu) sedangkan Rasulullah SAW
adalah hamba dan utusan-Nya, surga dan neraka benar-benar nyata, tak ada
sedikitpun keraguan akan datang hari kiamat , dan sesungguhnya Allah SWT
benar-benar akan membangkitkan seluruh manusia dari kuburnya.
3. Tuhan berada diatas Arsy
(singgasana-Nya) sebagaimana yang difirmankan-Nya dan kita tidak berhak
mempertanyakan seperti apa tangan-Nya, wajah-Nya, mata-Nya, dan segala sifat yang melingkupinya.
4. Tidak benar jika dikatakan bahwa
sifat-sifat Allah SWT berada diluar diri-Nya. Orang mukmin sejati mengimani
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki pengetahuan sebagaimana yang
difirmankan-Nya
5. Harus mengimani sesungguh hati bahwa
tiada kebaikan dan keburukan melainkan atas kehendak Allah SWT, dan segala
sesuatu yang terjadi semata-mata adalah kehendak-Nya, tiada pencipta selain
Allah SWT dan Allah menciptakan perbuatan manusia sedangkan manusia tidak mampu
menciptakan apa-apa.
6. Allah
menganugerahkan karunia-Nya kepada orang mukmin sejati untuk taat kepadanya dan
menutup hati orang-orang kafir untuk mendapatkan karunia-Nya. Allah juga
berkuasa untuk menutup atau membuka hati seseorang
7. Baik dan buruk bergantung pada ketetapan
Allah SWT baik yang bersifat khusus maupun umum, baik yang menyenangkan ataupun
tidak.
8. Senang dan susah sudah merupakan
kehendak Allah. Mereka menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, mengakui
ketergantungan terhadap Allah dalam segala keadaan dan segala kesempatan.
9. Mengimami bahwa Al-Qur’an adalah
kalamullah yang
tidak bermula dan merupakan perkataan yang bersifat azali.
10. Meyakini bahwa Allah akan dapat dilihat oleh
orang yang beriman setelah hari kebangkitan kelak, dan mereka yang tidak
beriman tidak akan pernah melihat-Nya.
11. Tidak berhak mengecap orang mukmin
sebagai kafir disebabkan dosa besar yang mereka lakukan seperti mencuri,
berjudi, berzina, dll. Sebaliknya mereka tetap sebagai orang mukmin disebabkan
karena mereka tetap memiliki
iman sekalipun sangat besar dosa yang dilakukan.
12. Mengakui bahwa Allah berhak merubah hati
manusia dan membolak balikannya.
13. Mengakui adanya campur tangan (syafaat)
utusan Allah dan syafaat tersebut termasuk juga untuk menghapuskan dosa besar
dan untuk membebaskan dari siksa kubur. Mereka juga mengakui kebenaran adanya
haudh (telaga) dihari akhir. Dan adanya shiratal mustaqim (jembatan yang
terhampar diatas neraka jahanam) dan kebenaran adanya kebangkitan setelah
kematian, adanya perhitungan amal seluruh manusia dipadang mahsyar.
14. Meyakini bahwa iman adalah qaul
(perkataan) dan amal (perbuatan).
15. Meyakini bahwa Allah tidak memerintahkan
kejahatan dan Allah hanya memerintahkan kebajikan dan melarang berlarut-larut
dalam kesalahan.
16. Berpandangan bahwa orang-orang pilihan
Allah telah dijadikan sahabat Rasulullah mereka menghargai keshalehan para
sahabat.
17. Mengimani adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir yang segera mendatangi
orang meninggal didalam kuburnya. Mereka membenarkan panjatan doa terhadap
orang muslim yang meningggal dan kebolehan bersedekah untuk mereka setelah
kematiannya.
18. Memanjatkan doa untuk orang-orang muslim
yang meninggal, baik itu orang shaleh maupun yang banyak dosa. Mengimani bahwa
surga dan neraka adalah ciptaan Allah. Mengimani
bahwa Allah mengetahui setiap perbuatan manusia dan mencatat setiap perbuatan
manusia. Harus bersabar atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah.
Menyadari bahwa tugasnya adalah untuk menyembah Allah.
Adapun
pokok – pokok ajaran Asy’ariyah yang terpenting antara lain :[20]
1.
Sifat Tuhan
Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan
mempunyai sifat – sifat sebagaimana disebutkan dalam al – Qur’an, seperti Allah
mengetahui dengan sifat ‘ilmu – Nya, berkuasa dengan qudrat –
Nya, berfirman dengan kalam – Nya dan sebagainya. Sifat – sifat tersebut
adalah azali. Sifat – sifat – sifat itu bukan zat Tuhan, bukan pula lain dari
zat – Nya.
2. Perbuatan
manusia
Perbuatan manusia menurut Asy’ariyah
adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk
mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan
dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan
kekuasaan Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasb, yakni
berkaitannya kekuasaan Tuhan dengan perbuatan manusia. Kasb sendiri
megandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukannya.
3. Pelaku
Dosa Besar
Menurut Asy’ariyah, seorang muslim yang
melakukan perbuatan dosa besar dan meninggal dunia sebelum taubat tetap
dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan
diakhirat ada beberapa kemungkinan:
a) Ia
mendapat ampunan dari Allah dengan rahmat – Nya sehingga pelaku dosa besar
tersebut dimasukkan ke dalam surga.
b) Ia
mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW.
c) Allah
memberikan hukuman kepadanya dengan dimasukkan kedalam siksa neraka sesuai
dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian Allah memasukkannya ke surga.
4. Keadilan
Tuhan
Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga
ataupun ke neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah
yang berkuasa dan segala – galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan memasukkan
seluruh manusia ke dalam surga, bukan berarti Tuhan tidak adil. Sebaliknya,
jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, bukan berarti Tuhan
zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih berkuasa. Allah
dapat melakukan apa saja yang dikehendaki – Nya.
Beberapa
tokoh yang menyebar dan mengembangkan pemikiran kalam al – Asy’ari itu,
tercatat nama – nama besar seperti: al – Baqillani, al – Juwaini (imam al –
Haramain), al – Isfirayini, Abu Bakar al – Qaffal, al – Qusyairi, Fahr al-Din
al-Razi’, Izz al-Dinn’Abd al-Salam, termasuk al-Ghazali dan al-Bazdawi.[21]
Ada beberapa sebab yang menjadikan Asy’ariyah dipeluk oleh mayoritas umat
Islam:[22]
1.
Asy’ariyah muncul di Baghdad, tempat yang ketika itu menjadi pusat
pemikiran dan peradaban dunia Islam. Hal tersebut ditambah penyebaranyya di
Mesir semenjak khilafah Ayyubiyah
2. Asy’ariyah menggunakan slogan kembali
kepada Al-Qur’an, sunnah, dan salaf. Slogan tersebut menyebabkan umat islam
tertarik kepadanya dan merasakan ketenangan dengannya
3. Memiliki para ulama yang sangat cerdas.
Hal yang tidak bisa dilakukan oleh mazhab manapun ulama itulah yang menyebarkan
paham Asy’ariyah sehingga bisa diterima oleh mayoritas umat Islam.
Sedangkan
pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah
pemikiran kalam al-‘Asy’ari yang telah dikembangkan oleh al-Ghazali melalui
karya – karyanya, antara lain: Ihya’ Ulumuddin, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad,
al-Munqidz Min al-Dlalal, dan lain – lain.[23]
Selain itu Ahmad Mahmud Subhi pernah mengatakan bahwa al – Asy’ari adalah salah
satu penganut mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia.
Sehingga pemikiran al – Asy’ari ini sesuai dengan pemikiran teologi yang
berkembang di masyarakat Indonesia.
[1] Nashr Hamid Abu Zaid,
Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas Dalam
Al-Qur’an menurut Mu’tazilah, Bandung: Mizan, 2013, hal. 21-22.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran – aliran
Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2011,
hal. 40
[13] Sahilun A.Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam )
Sejarah, Ajaran, dan perkembangannya, Jakarta: Rajawali, 2010, hal. 169
[18] Romli Abu Wafa, Rekonstruksi Doktrin Pemikiran dan
Pollitik Aswaja, Bogor: Al – Azhar Fresh Zone, 2012, hal. 43
Comments
Post a Comment