FISIOLOGI HEWAN: RESPIRASI


         
RESPIRASI
  1. Tujuan
1.      Mengetahui pengaruh suhu terhadap aktivitas respirasi ikan.
2.      Mengetahui pengaruh tingkat produksi karbondioksida terhadap respirasi ikan.
  1. Dasar Teori
Respirasi merupakan aktivitas metabolik spesifik yang berhubungan dengan jumlah oksigen perunit waktu, terjadi pemanfaatan oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Respirasi digunakan sebagai petunjuk pada laju metabolisme. Laju konsumsi oksigen biota pada periode waktu yang spesifik merupakan aktivitas dari metabolisme. Sedangkan penetapan laju konsumsi oksigen sewaktu biota mempertahankan kondisi aktivitas yang baik merupakan standar metabolisme (Fujaya, 2001 ).
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius, 1992). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operkulum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda (Fujaya, 2001).
Sebagai biota perairan, ikan mendapatkan oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya. Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut operkulum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang (Rostim, 2001). Laju gerakan operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan (Fujaya, 2001). Menurut Fujaya (2001), setiap kali mulut dibuka maka air dari luar akan masuk menuju faring kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya Fujaya (2001),  menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air. Proses masuknya oksigen dari air masuk kedalam insang kemudian ke kapiler darah dan jaring – jaring yang membutuhkan disebut inspirasi. Sedangkan ekspirasi adalah proses pengeluaran CO2 yang dibawa darah dari jaringan menuju insang dan keluar tubuh. Kedua proses tersebut yaitu inspirasi dan ekspirasi merupakan respirasi eksternal Fujaya (2001). Sebagaimana gambar dibawah ini.
               
Respirasi eksternal sangat dipengaruhi oleh kadar oksigen di dalam lingkungan yang bersangkutan ( Kanisius, 1992). Menurut Purwaningsih (1998) kelarutan oksigen dalam cairan secara umum dipengaruhi:
1.      Tekanan parsial oksigen (PO2) di atas perukaan cairan. Makin tinggi tekanan
parsial O2 di atas cairan, makin tinggi pula kelarutan oksigen dalam cairan.
2.      Suhu cairan/ medium. Makin tinggi suhu cairan/medium, makin rendah
kelarutan oksigen dalam cairan/ medium.
3.      Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam cairan, makin rendah
kelarutan oksigen di dalam cairan.
Dengan mengubah- ubah suhu cairan, maka kadar oksigen dalam cairan akan berubah- ubah. Demikian pula dengan mengubah-ubah kadar garam cairan, maka kelarutan oksigen dalam cairan juga berubah-ubah. Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan (Ville,dkk, 1998). Kenaikan suhu air dapat akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu (Kanisius, 1992). Menurut Purwaningsih (1998) air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Selanjutnya Purwaningsih (1998) menambahkan bahwa walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama mahluk akuatik dengan lingkungan sekelilingnya. Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan (Fujaya, 2001).
Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 29 derajat Celsius, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi individual terhadap suhu umumnya terbatas Fujaya (2001). Menurut Kanisius ( 2005) kenaikan suhu air dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut:
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati.
Setelah kita mengetahui pengaruh suhu terhadap laju respirasi, selanjutnya akan dijelaskan hubungan antara laju respirasi dengan metabolisme. Menurut Tobin (2005) laju metabolisme berkaitan erat dengan respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari molekul makanan yang bergantung pada adanya oksigen. Laju metabolisme biasanya diperkirakan dengan mengukur banyaknya oksigen yang dikonsumsi makhluk hidup per satuan waktu. Hal ini memungkinkan karena oksidasi dari bahan makanan memerlukan oksigen (dalam jumlah yang diketahui) untuk menghasilkan energi yang dapat diketahui jumlahnya juga. Akan tetapi, laju metabolisme biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju konsumsi oksigen. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen antara lain temperatur, spesies hewan, ukuran badan, dan aktivitas (Tobin 2005). Secara sederhana, reaksi kimia yang terjadi dalam respirasi dapat dituliskan sebagai berikut:
C6H12O6 + 6O2 → 6 CO2 + 6H2O + ATP
  1. Metode
1.      Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah gelas beker 600 ml, gelas beker 250 ml termometer, timbangan, counter, dan pH kit tester. Adapun bahan yang digunakan adalah air panas, es dan ikan.
2.      Cara Kerja
Pertama disiapkan terlebih dahulu dua gelas beker berukuran 600 ml, satu gelas diberi label A dan gelas lain diberi label B. Kedua gelas tersebut kemudian diisi dengan 150 ml air dan diukur suhu derajat keasamannya. Dua ekor ikan mas kemudian dimasukkan ke dalam masing – masing gelas tersebut. Ikan pada gelas A digunakan sebagai control, sedangkan ikan pada gelas B digunakan sebagai objek pengujian. Masing – masing ikan yang ada pada kedua gelas dihitung berapa kali gerakan buka tutup mulut/operkulumnya selama 30 detik dan diulang sebanyak tiga kali untuk mendapatkan data yang valid.
Saat pengujian pengaruh kenaikan suhu, pada gelas B ditambahkan air panas hingga suhunya naik 2 derajat. Setelah naik, gelas kontrol ditambah dengan air biasa agar volumenya sama dengan gelas uji. Dilakukan lagi perhitungan buka mulut ikan selama tigapuluh detik dengan tiga kali pengulangan. Setelah itu, air pada gelas kontrol dinaikkan kembali suhunya menjadi 4 dan 6 derajat Celsius dari suhu sebelumnya. Pada setiap kenaikan suhu dihitung berapa kali ikan pada gelas kontrol membuka dan menutup mulut dengan cara perhitungan yang sama.
Percobaan selanjutnya yaitu untuk mengetahui pengaruh penurunan suhu terhadap respirasi ikan, langkah yang dilakukan sama seperti melakukan uji coba kenaikan suhu. Tetapi jika kenaikan mengalami peningkatan suhu dari 2 menjadi 4 dan 6 dari suhu awal, maka pada uji coba penurunan suhu mengalami penurunan dari 2 menjadi 4  dan 6 dari suhu awal.
  1. Hasil dan Pengamatan
Kenaikan Suhu
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa dengan perlakuan suhu air dinaikkan dengan diberi air panas gerakan operkulum atau mulut ikan lebih cepat dibandingkan ikan pada air kontrol (tidak diberi perlakuan). Sebagaimana Purwaningsih (1998) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi respirasi. Meningkatnya suhu akan meningkatkan laju metabolisme serta menyebabkan permintaan oksigen pada jaringan lebih tinggi (Purwaningsih, 1998). Karena tingginya permintaan oksigen, maka akan mempengaruhi gerakan mulut dan operkulum pada ikan.  Hal ini sesuai dengan Fujaya (2001) yang menyatakan bahwa setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya Sukiya menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air. Peristiwa masuknya air melalui mulut merupakan bentuk inspirasi. Karena oksigen larut dalam air, maka apabila ikan membuka mulut dan air masuk, oksigen juga akan masuk dalam tubuh ikan Fujaya (2001). Selain itu, gerakan operkulum menunjukkan keluarnya karbondioksida. Sebagaimana pendapat Tobin (2005) organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang (Tobin, 2005). Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa naiknya suhu dapat meningkatkan laju metabolisme dan respirasi pada ikan. Hal ini terjadi karena laju respirasi berbanding lurus dengan laju metabolisme. Jika jumlah oksigen yang dibutuhkan jaringan banyak, maka ikan akan mengambil oksigen dalam air dengan jumlah yang banyak. Dan jumlah air yang diambil ikan menunjukkan laju respirasi, karena didalam air terlarut oksigen.
Pada praktikum ini, didapatkan pH yang konstan yaitu 7. Kisaran pH 7 ini masih memenuhi nilai ambang batas baku mutu untuk ikan. Sebagaimana pendapat Mulyanto (1992), nilai pH yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 5 – 9 dan antara 6,5 – 8,5.
Penurunan Suhu
            Grafik diatas menunjukkan bahwa frekuensi gerakan mulut/operkulum pada suhu rendah lebih sedikit daripada suhu kontrol. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Schmittou 1991 dalam Imanto 2008 yang menyatakan suhu secara fisik berpengaruh pada tingkat kelarutan oksigen di dalam air, semakin dingin suhu air, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin tinggi. Suhu yang dingin secara langsung akan mempengaruhi suhu badan ikan dan suhu darah, semakin dingin suhu darah tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat. Penurunan suhu berdampak pada penurunan konsumsi oksigen dan menurunnya produk metabolisme yang dapat bersifat racun baik dalam bentuk gas CO2 maupun ammonia dalam bentuk NH3 (Wedemeyer 1996 dalam Imanto 2008). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika konsumsi oksigen rendah maka akan berpengaruh pada gerakan mulut dan operkulum. Sebagaimana yang dikemukakan Fujaya (2001) bahwa gerakan mulut menginterpretasikan inspirasi dan gerakan operkulum merupakan gerakan yang terjadi akibat proses ekspirasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa data yang didapatkan sesuai dengan teori. Begitu pula dengan pH yang didapatkan yaitu 8. pH ini sesuai dengan pendapat Mulyanto (1992) yaitu, nilai pH yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 5 – 9 dan antara 6,5 – 8,5.
            Berdasarkan kedua data yang didapatkan kita dapat mengetahui bahwa suhu mempengaruhi laju metabolisme yang nantinya akan mempengaruhi laju respirasi. Hal ini terjadi karena saat suhu naik tubuh akan melakukan metabolisme secara cepat dan memerlukan sejumlah oksigen yang didapatkan dari proses respirasi. Pada kenaikan suhu pergerakan mulut dan operkulum cenderung lebih cepat dibandingkan kontrol dan penurunan suhu. Selain mempengaruhi laju respirasi dan metabolisme laju respirasi juga mempengaruhi pH pada air. Sebagaimana pendapat Prescod (1978) yang menyatakan bahwa perubahan nilai pH suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi, tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen terlarut dan adanya anion dan kation.
            Menurut Mulyanto (1992) kenaikan suhu dapat menurunkan kelarutan oksigen dan meningkatkan toksisitas polutan (Mulyanto,1992). Keadaan ini terjadi karena pada suhu tinggi akan meningkat laju metabolisme yang selanjutnya akan meningkatkan laju respirasi. Meningkatnya laju metabolisme akan memperbanyak pengeluaran kotoran oleh ikan. Selain itu pada suhu tinggi juga akan meningkatkan respirasi yang mengakibatkan meningkatknya produksi karbondioksida dan akan menurunkan kadar oksigen dalam air. Keadaan banyaknya kotoran, turunnya kadar oksigen dan meningkatnya kadar karbondioksida ini akan meningkatkan pH pada air. Sebagaimana pendapat Simanjuntak (2009) bahwa nilai pH dapat menjadi lebih rendah disebabkan kandungan bahan organik yang tinggi.
            Penjabaran dari data yang didapatkan dapat diketahui bahwa data yang didapatkan sesuai dengan teori. Dimana saat suhu mengalami kenaikan maka frekuensi pergerakan mulut dan operkulum lebih cepat karena pengaruh kenaikan laju metabolisme. Dan sebaliknya pada kenaikan suhu gerakan operkulum dan insang lebih lambat. Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat mengetahui bahwa adanya termoregulasi pada ikan dimana ikan akan melakukan gerakan yang lebih cepat pada operkulum dan insang saat suhu naik dan melakukan gerakan yang lambat saat suhu turun. Sebagaimana pendapat Berka (1986), ikan akan mengalami stress sehingga tubuh ikan mengadakan respon fisiologis terhadap kondisi lingkungannya dengan mempercepat gerak operkulum pada kenaikan suhu dan memperlambat gerak operkulum pada penurunan suhu.
  1. Kesimpulan
1.      Suhu mempengaruhi aktivitas respirasi ikan yang ditandai dengan gerakan mulut dan operkulum ikan. Saat suhu naik, mulut dan operkulum ikan akan bergerak cepat karena ikan memerlukan oksigen dalam jumlah yang lebih banyak akibat naiknya metabolisme. Sebaliknya, mulut dan operkulum ikan akan bergerak lambat saat penurunan suhu karena menurunya metabolisme dan berkurangnya kebutuhan oksigen dalam tubuh.
2.      Tingkat produksi karbondioksida pada saat kenaikan suhu lebih banyak dibandingkan penurunan suhu.
  1. Daftar Pustaka
Berka R. 1986. The Transportation of Live Fish. Amerika: EIFAC Tech
Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta.
Imanto PT. 2008. Beberapa Teknik Transportasi Ikan Laut Hidup dan Fasilitasnya Pada Perdagangan Ikan Laut di Belitung. Belitung : WFF
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta: Penerbis Kanisius
Mulyanto. 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Prescod, M.B. 1978. Environmental Indices Theory and Practice. Michigan: Ann Arbour Science Inc.
Purwaningsih S. 1998. Sistim Transportasi Ikan Hidup. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol. V No. 1. Departemen Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB.
Rostim A. 2001. Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum), Ikan Nilem (Osteochillus hasselti, C.V.) dan Ikan Tawes (Puntius javanicus, Blkr.). [Skripsi]. Departemen BDP, FPIK, IPB.
Simanjuntak, Marojahan. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Kimia, Fisika Terhadap Distribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. J. Fish. Sci. Vol. 11 No. 1, hal: 31-45
Tobin AJ. 2005. Asking About Life. Canada: Thomson Brooks/Cole.
Ville, C.A ; Warren, F.W; Robert, D.B. 1988. Zoology. Jakarta: Erlangga.


                                                         Lampiran
Perlakuan
Jumlah gerakan mulut/operkulum per menit


pH
Keterangan aktivitas ikan
1
2
3
Rata - rata
Ikan A awal
100
114
115
109,6
7
Operkulum/mulut bergerak cepat
Ikan B awal
101
113
116
110
7
Operkulum/mulut bergerak cepat
Kontrol suhu naik 31oC
93
97
97
110
7
Operkulum/mulut bergerak cepat
Suhu naik 31o C
128
128
128
128
7
Operkulum/mulut bergerak lebih cepat
Kontrol Suhu 33oC
95
90
105
96,6
7
Operkulum/mulut bergerak cepat
Suhu 33oC
145
148
141
144,7
7
Operkulum/mulut bergerak lebih cepat
Kontrol Suhu 35oC
88
97
97
94
7
Operkulum/mulut bergerak cepat
Suhu 35oC
163
168
161
164
7
Operkulum/mulut bergerak lebih cepat
Kontrol Suhu turun 27oC
98
97
97
97,3
8
Operkulum/mulut bergerak cepat
Suhu turun 27oC
81
83
84
82,7
8
Operkulum/mulut bergerak lambat
Kontrol Suhu 25oC
101
87
97
95
8
Operkulum/mulut bergerak cepat
Suhu 25oC
72
73
75
73,3
8
Operkulum/mulut bergerak lambat
Kontrol Suhu 23oC
96
96
98
96,7
8
Operkulum/mulut bergerak cepat
Suhu 23oC
67
64
64
65
8
Operkulum/mulut bergerak lambat


Comments

Popular posts from this blog

Favites sp: Deskripsi, Habitat dan Peranan

Ophiotrix sp: Deskripsi, Klasifikasi, Habitat dan Peranan

Euspongia sp:Deskripsi, Klasifikasi, Habitat dan Peranan